Apakah Tarif 32% dari AS Terkait Langkah Indonesia Mendekati BRICS?

Tarif 32% dari Amerika Serikat terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia menjadi sorotan tajam dalam beberapa pekan terakhir. Namun di balik angka itu, muncul pertanyaan besar: Apakah ini murni kebijakan ekonomi, atau ada nuansa geopolitik yang lebih dalam?

Apalagi, momen pengumuman tarif tersebut terjadi tak lama setelah Indonesia secara aktif menunjukkan ketertarikan pada BRICS—blok ekonomi negara berkembang yang digawangi oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Tahun 2024 lalu, Indonesia sudah diundang dalam beberapa forum BRICS, dan pada 2025 ini, sinyal untuk bergabung semakin kuat.

BRICS: Jalan Alternatif Melawan Hegemoni Barat?

BRICS bukan hanya klub ekonomi biasa. Ia adalah representasi dari negara-negara berkembang yang ingin membangun sistem ekonomi yang lebih inklusif dan tidak didominasi oleh Barat, terutama Amerika dan Uni Eropa.

Indonesia, sebagai salah satu ekonomi terbesar di Asia Tenggara, dianggap cocok masuk ke BRICS karena kekuatan demografi, sumber daya alam, dan potensi pasar dalam negeri. Bergabung dengan BRICS bisa membuka banyak pintu—termasuk dukungan pendanaan, kerja sama antarnegara berkembang, dan sistem pembayaran alternatif berbasis mata uang lokal atau bahkan CBDC (Central Bank Digital Currency).

Namun, langkah ini bisa juga menimbulkan “kecurigaan” dari pihak Barat. Terutama dari AS, yang sejak lama memimpin struktur ekonomi global melalui dolar, WTO, dan lembaga-lembaga seperti IMF serta World Bank.

AS & Indonesia: Hubungan Dagang yang Asimetris?

Secara neraca perdagangan, hubungan Indonesia-AS cukup timpang. Dari total perdagangan dua arah senilai 28 miliar USD, sekitar 17 miliar USD adalah surplus untuk Indonesia, dan hanya 11 miliar untuk AS. Dalam narasi AS, ini dianggap sebagai “ketidakseimbangan” yang perlu dikoreksi.

Maka ketika Indonesia terlihat semakin dekat dengan BRICS plus surplus dagang besar, tarif 32% bisa jadi “penyeimbang paksa” atau bahkan “peringatan halus”: jangan terlalu jauh meninggalkan orbit pengaruh Amerika.

Tarif 32%: Diskon dari Tarif Seharusnya?

Dalam salah satu ulasan ekonomi yang beredar, muncul analisis menarik: bahwa tarif 32% ini sebenarnya adalah “diskon” dari tarif ideal yang seharusnya 64%. Dari mana angkanya?

Jika kita ambil rasio surplus perdagangan (17 miliar) dari total ekspor (28 miliar), maka didapatkan angka sekitar 60%—yang jika disederhanakan menjadi 64%. Artinya, AS merasa dirugikan sebesar 64% dari total nilai perdagangan. Namun karena alasan diplomasi dan strategi global, mereka hanya menerapkan separuhnya: 32%.

Narasi ini memang tidak pernah disebut resmi oleh Washington, tapi dalam politik ekonomi, angka-angka bukanlah sekadar hitungan, tapi pesan.

Indonesia di Persimpangan Jalan

Di satu sisi, Indonesia memang sedang mencari keseimbangan baru. Dunia pasca-pandemi menunjukkan bahwa bergantung terlalu besar pada satu blok ekonomi bukanlah keputusan bijak. BRICS memberi Indonesia opsi baru untuk menjalin kerja sama berbasis kesetaraan.

Di sisi lain, AS tetap mitra strategis. Investasi, teknologi, hingga pengaruh diplomatik AS tetap penting bagi posisi Indonesia di kancah global.

Tarif 32% ini bisa jadi adalah cara AS mengatakan: “Kalau kamu ingin pergi ke arah sana, jangan lupakan kami.”

Apa yang Bisa Dilakukan Indonesia?

  1. Konsolidasi Diplomatik:
    Indonesia harus pintar memainkan kartu diplomasi. Mendekat ke BRICS bukan berarti menjauh dari AS. Perlu ditekankan bahwa tujuan Indonesia adalah membangun keseimbangan baru, bukan mengganti poros.
  2. Strategi Ekspor Alternatif:
    Diversifikasi pasar harus menjadi prioritas. ASEAN, Timur Tengah, dan Afrika punya potensi besar untuk menyerap produk Indonesia yang terdampak tarif dari AS.
  3. Perkuat Domestik:
    Penguatan industri lokal, termasuk lewat digitalisasi UMKM ekspor, bisa menjadi fondasi agar Indonesia lebih tangguh dalam menghadapi tekanan luar.
BRICS mata uang baru
ilustrasi perjanjian pakta ekonomi BRICS

Kesimpulan: Isyarat, Bukan Serangan

Tarif 32% dari AS bisa dibaca sebagai sinyal, bukan semata hukuman. Amerika tahu Indonesia sedang mencari ruang baru lewat BRICS. Tapi sekaligus, AS ingin memastikan bahwa mereka masih punya pengaruh dalam arah kebijakan Indonesia.

Namun penting untuk dipahami — dan ini sering kali keliru di persepsi publik — bahwa BRICS adalah pakta ekonomi, bukan pakta pertahanan. Tidak ada klausul militer, tidak ada aliansi militer seperti halnya NATO. BRICS dibentuk dengan tujuan membangun keseimbangan baru dalam struktur ekonomi global yang selama ini didominasi Barat.

Indonesia sendiri tidak sedang bermain dua kaki, tapi berdiri di atas kaki sendiri. Dunia yang multipolar memaksa negara seperti Indonesia untuk lihai membaca angin, dan cerdas menentukan arah.

Apakah ini akan berujung konfrontasi? Rasanya tidak. Tapi yang jelas, tarif ini bukan sekadar angka. Ia adalah pesan: “Kami tahu kalian sedang berubah.”

Leave a Comment

Verified by MonsterInsights